Japanese Food

Jepanese Food



1.Bentō 
Bentō (弁当 atau べんとう?) atau o-bentō adalah istilah bahasa Jepang untuk makanan bekal berupa nasi berikut lauk-pauk dalam kemasan praktis yang bisa dibawa-bawa dan dimakan di tempat lain. Seperti halnya nasi bungkus, bentō bisa dimakan sebagai makan siangmakan malam, atau bekal piknik.
Bentō biasanya dikemas untuk porsi satu orang, walaupun dalam arti luas bisa berarti makanan bekal untuk kelompok atau keluarga. Bento dibeli atau disiapkan sendiri di rumah. Ketika dibeli, bentō sudah dilengkapi dengan sumpit sekali pakai, berikut penyedap rasa yang disesuaikan dengan lauk, seperti kecap asin atau saus uster dalam kemasan mini.
Pada akhir zaman Kamakura, orang Jepang mengenal makanan praktis berupa nasi yang ditanak dan dikeringkan. Makanan ini disebut hoshi-ii (nasi kering) dan dibawa di dalam tas kecil. Hoshi-ii bisa dimakan begitu saja, atau direbus di dalam air sebelum dimakan. Di zaman Azuchi Momoyama (1568-1600), orang sudah mulai senang makan di luar, dan kotak kayu yang dipernis digunakan sebagai wadah membawa makanan. Bentō mulai dikenal sebagai makanan praktis dalam kesempatan hanami atau upacara minum teh.
Pada zaman Edo (1603-1867), kebudayaan bentō semakin meluas di kalangan rakyat banyak. Orang yang bepergian atau berwisata membawa makanan praktis yang disebut koshibentō (bentō di pinggang). Isinya beberapa onigiri yang dibungkus daun bambu, atau nasi di dalam kemasan kotak beranyam dari bambu yang diikatkan di pinggang. Salah satu jenis bentō yang disebut makunouchi bentō populer di kalangan rakyat yang menonton pertunjukan noh dan kabuki. Bentō dimakan sewaktu pergantian layar panggung (maku) sehingga dinamakan makunouchi bentō. Di zaman Edo, cara memasak, mengemas, dan menyiapkan bentō untuk kesempatan hanami dan hinamatsuri sudah diterbitkan dalam buku resep masakan.
Penjualan paket nasi yang disebut ekiben (駅弁 bentō stasiun?) dimulai sejak zaman Meiji. Ekiben dimaksudkan untuk dinikmati di atas kereta, dan sering merupakan hidangan khas dari daerah tempat stasiun kereta api tersebut berada. Stasiun KA Utsunomiya (Prefektur Ibaraki) merupakan salah satu stasiun yang mengklaim sebagai penjual ekiben yang pertama. Pada 16 Juli 1885, di Stasiun KA Utsunomiya dijual ekiben berupa dua buah onigiri berisi umeboshi dan potongan asinan lobak (takuan) dengan pembungkus daun bambu. Bekal bentō yang dibawa murid dan guru juga mulai populer pada zaman Meiji. Jam pelajaran baru selesai di petang hari, dan sekolah-sekolah belum memiliki dapur dan kafetaria yang menyediakan makan siang. Selain bentō berisi nasi, penjual bentō juga mulai menyediakan bentō ala Eropa berisi sandwich.
Pada zaman Taisho (1912 - 1926), perbedaan kaya-miskin yang tajam seusai Perang Dunia I menimbulkan gerakan sosial untuk menghentikan kebiasaan membawa bentō ke sekolah. Bentō dituduh sebagai sarana pamer kekayaan bagi anak orang berada yang mampu membawa nasi ke sekolah.
Pada awal zaman Showa, kotak dari aluminum untuk membawa bento sangat digemari orang Jepang dan merupakan barang mewah. Setelah Perang Dunia II, tradisi membawa bentō secara berangsur-angsur hilang sejalan dengan semakin banyaknya sekolah yang menyediakan ransum makan siang.
Bentō kembali populer pada tahun 1980-an setelah dikenal kemasan kotak plastik polistirena sekali pakai, oven microwave, dan semakin meluasnya toko kelontong 24 jam. Sementara itu, bentō buatan ibu kembali mulai digemari, dan tradisi membawa bentō dari rumah hidup kembali. Keahlian menyiapkan bentō untuk anak-anak merupakan kebanggaan tersendiri bagi ibu rumah tangga. Lauk seperti sosis dan nori dipotong-potong atau digunting untuk dijadikan hiasan, seperti daun, bunga, binatang, hingga karakter anime.


2. Katsuobushi 
Katsuobushi  (鰹節?) adalah makanan awetan berbahan baku ikan cakalang (katsuo). Katsuobushi diserut menjadi seperti serutan kayu untuk diambil kaldunya yang merupakan bahan dasar masakan Jepang, ditaburkan di atas makanan sebagai penyedap rasa, atau dimakan begitu saja sebagai teman makan nasi.
Katsuobushi yang sudah diserut tipis, berwarna coklat muda hingga merah jambu sedikit bening umumnya dijual dalam kemasan plastik. Katsuobushi sebagai penyedap makanan biasanya ditaburkan di atas hiyayako (tahu dingin), okonomiyaki dan takoyaki. Katsuobushi yang sudah diserut disebut kezuribushi.
Pengawetan ikan cakalang menjadi katsuobushi umum dilakukan di beberapa negara seperti Jepang dan kepulauan Maladewa. Teknik pengawetan ikan menjadi katsuobushi sudah dikenal di Jepang sejak sebelum zaman Edo. Katsuobushi disebut juga ikan kayu karena ikan cakalang yang sudah diolah menjadi sangat keras seperti kayu, sehingga sebelum digunakan harus diserut dengan alat ketam.
Ikan dibelah menjadi 2 bagian untuk membuang bagian tulang, menyisakan bagian daging ikan berbentuk lengkungan seperti kapal yang disebut fushi (?). Daging ikan kemudian diproses sehingga produk akhirnya disebut katsuobushi.
Pemrosesan terdiri dari berbagai tahap, sebutan untuk ikan cakalang yang hanya direbus dan dikeringkan adalah namaribushi. Tahap selanjutnya adalah memproses namaribushi dengan cara pengasapan atau pengapangan untuk menumbuhkan berjenis-jenis kapang di atas permukaannya. Produk akhir yang sering digunakan dalam masakan Jepang adalah katsuobushi yang mengalami pengapangan dan namaribushi.
Katsuobushi kaya dengan vitamin B kompleks dan banyak mengandung inosine dan unsur umami sehingga selalu digunakan di Jepang sebagai bumbu dapur atau penyedap. Dalam istilah orang Jepang, umami adalah rasa "lezat" yang merupakan rasa tambahan dari empat rasa utama yang umum: manisasamasin, dan pahit.
Katsuobushi hasil pengapangan disebut karebushi (枯節?) yang mengandung lebih banyak unsur umami dan vitamin B dibandingkan katsuobushi biasa.
Ikan cakalang adalah ikan yang sudah dikonsumsi orang Jepang sejak zaman kuno. Dari beberapa situs penggalian seperti di Hachinohe (Prefektur Aomori) berhasil ditemukan sisa-sisa ikan cakalang bekas dimakan orang zaman Jomon. Walaupun ada kemungkinan teknik pengeringan ikan cakalang sudah dikuasai orang Jepang sejak abad ke-5, hasil akhirnya mungkin sangat berbeda dengan katsuobushi yang dikenal sekarang. Berdasarkan catatan zaman kuno juga diketahui teknik pengolahan ikan cakalang yang sesudah jadi lebih mirip ikan kering.
Menurut kitab hukum Fuyakuryō (賦役令 fuyakuryō atau buyakuryō?) dan Kitab Undang-Undang Taihō terbitan tahun 701 (zaman Asuka), ikan cakalang kering ditetapkan sebagai upeti atau barang persembahan, bersama-sama dengan ikan cakalang, ikan cakalang masak nimono, dan air kaldu ikan cakalang. Pada zaman dulu, ikan cakalang adalah upeti yang dikirimkan dari provinsi seperti Izu, Suruga, Shima, Sagami, Awa (安房?), Kii, Awa (阿波?), Tosa, Bungo, dan Himuka.
Pengolahan ikan cakalang dari zaman Muromachi mempunyai hasil akhir yang mirip dengan katsuobushi yang dikenal sekarang. Hanakatsuo (花鰹?) disebut-sebut dalam buku masak terkenal dari zaman Muromachi yang berjudul Shijōryū Hōchōsho (四条流包丁書?). Kemungkinan besar hanakatsuo yang disebut dalam buku masak zaman Muromachi adalah produk awetan ikan cakalang yang sangat keras, sehingga harus diserut dengan alat ketam dan bukan berupa ikan cakalang kering.
Teknik pengasapan baru dikenal pada zaman Edo. Teknik menghilangkan air dari dalam daging ikan dengan cara pengasapan kemungkinan mulai dilakukan pengolah ikan bernama Jintarō dari wilayah Kishu (Kumano). Kabibushi (かび節?) adalah jenis katsuobushi yang dimatangkan dengan cara pengapangan. Teknik pembuatan kabibushi yang kemudian meluas ke seluruh Jepang kabarnya diciptakan oleh Tosano Yoichi yang juga berasal dari Kishu. Pada zaman dulu, pengolahan ikan cakalang di Jepang berpusat di daerah-daerah pantai Samudra Pasifik seperti Satsuma, Tosa, Awa, Kii, Shima, Ise, dan Izu.
Pada zaman Edo peringkat kualitas katsuobushi dibuat seperti peringkat pesumo. Kualitas atas yang disebut kelas gyoji (行司 gyōji?, wasit) ditempati asobushi dari Ise, namikiribushi dari Shima. Sementara itu, shimizubushi dari Shizuoka dan yakushimabushi dari Satsuma menempati peringkat nomor dua atau kelas Ozeki. Masakan berkelas khas Kyoto yang disebut kyōryōri banyak menggunakan katsuobushi kelas gyōji. Namikiribushi dan karebushi banyak dipakai dalam masakan chagaisekiryōri, hidangan kuil agama Buddha dan Shinto di Kyoto. Kemajuan transportasi laut pada zaman Edo memungkinkan katsuobushi yang berasal dari Kyushu dan Shikoku untuk diangkut sampai ke Edo.
Sesudah zaman Meiji, pengolahan ikan cakalang juga dilakukan di Pulau Uotsuri yang terletak di Kepulauan Senkaku, dan di pulau-pulau di sebelah selatan Samudra Pasifik yang ditetapkan Liga Bangsa-Bangsasebagai wilayah mandat Jepang. Pengolahan ikan cakalang dari kepulauan Samudra Pasifik ini berkembang dengan pesat karena harga-harga lokal yang murah, tetapi kemudian industri ini tamat akibat Perang Dunia 

3. Unadon atau unagidonburi 
Unadon atau unagidonburi  (鰻丼?) adalah makanan Jepang berupa nasi yang di atasnya diberi unagi (sidat jepang) yang dimasak cara kabayaki. Sebagai penyedap, ke atas nasi disiramkan saus (tare) yang rasanya manis sebelum meletakkan unagi. Sebelum dimakan, di atas unadon ditaburkan sedikit bubuk andaliman.
Saus dibuat dari campuran gula pasir dan kecap asin, meskipun kadang-kadang ditambah campuran lain yang sering juga dirahasiakan. Andaliman (nama Jepang: sanshō) ditaburkan ke atas unadon untuk menghilangkan bau amonia yang kadang-kadang berasal dari daging sidat jepang yang mengandung banyak lemak. Sedikit taburan bubuk andaliman juga dapat mengurangi bau lemak. Dalam set menu di rumah makan, unagi kabayaki atau unadon umumnya dihidangkan bersama sup bening (kimosui) berisi hatisidat jepang.


4. Unajū 
Unajū (鰻重?) adalah penyajian nasi dan panggang sidat jepang cara kabayaki yang dihidangkan dalam kotak jūbako.[1] Salah satu teori mengatakan unajū pertama kali dihidangkan oleh Gihei (大谷儀兵衛?) yang memulai usaha rumah makan ikan air tawar Funagi(?) (鮒儀?) di Sanya, Asakusa, Tokyo called Funagi(?) (鮒儀?) (nantinya rumah makan ini berganti nama menjadi Jūbako, dan kini berada Akasaka). Namun teori tersebut dibantah oleh sumber lain yang menngatakan bahwa versi unajū seperti itu sudah ada sekitar akhir zaman Edo. Pengamat lain mengatakan bahwa unajū sudah ada sejak zaman Taisho. Pemakaian kotak berpernis dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa unajū adalah makanan mewah. Unajū biasanya dijual dengan harga lebih mahal daripada unadon[1]
Di Nagoya dan sekitarnya terdapat masakan bernama hitsumabushi. Unagi kabayaki dipotong kecil-kecil, dan dicampur dengan nasi sebelum dihidangkan di dalam hitsu (tempat nasi berbentuk bundar dari kayu).
Unagi kabayaki dipercaya sebagai makanan bergizi untuk menambah stamina sepanjang musim panas di Jepang. Terutama unagi kabayaki dimakan pada hari Doyō no Ushimusim panas (sekitar minggu ketiga bulan Juli).

5. Udon 
Udon (うどん,饂飩?) adalah salah satu jenis mi yang sudah dikenal di Jepang sejak dulu, dibuat dari tepung terigu dan berbentuk tebal serta agak lebar.
Sesuai standar JAS, udon berbentuk bulat seperti pipa harus berdiameter di atas 1,7 mm, sedangkan udon berbentuk pipih harus memiliki lebar di atas 1,7 mm. Hiyamugi terlihat mirip dengan udon namun lebih langsing. Hiyamugi mempunyai diameter 1,2-1,7 mm dan ketebalan 1,0-2,0 mm. Selain disebut Hiyamugi, udon yang langsing juga disebut Hosoudon.
Tepung terigu berprotein sedang atau rendah diulen dengan air dan sedikit garam untuk membuat adonan udon. Setelah adonan dipotong-potong, udon bisa langsung direbus. Udon rebus biasanya dimakan bersama kuah yang dibuat dari dashi dengan tambahan kecap asin yang disebut tsuyu. Di Jepang bagian barat, kuah udon berwarna coklat muda hampir bening karena memakai kecap asin encer (usukuchi shōyu). Sedangkan di Jepang bagian timur, kuah udon berwarna gelap hampir hitam karena memakai kecap asin kental (koikuchi shōyu).
Di Jepang, udon merupakan makanan rakyat, berharga murah dan banyak dimakan sebagai pengganti nasi. Orang Jepang sejak dulu sudah akrab dengan udon dan sering dimakan beramai-ramai sewaktu ada keramaian atau perayaan. Variasi cara memasak dan jenis lauk yang digunakan berbeda-beda bergantung pada daerahnya di Jepang.
Di zaman kuno, udon dilafalkan sebagai "undon". Konon orang Jepang mengenalnya pada abad pertengahan sebagai makanan asal Tiongkok. Sampai sekarang, pangsit (wonton) dalam dialek Wu ditulis sebagai 餛飩 dan dibaca sebagai undon.
Dalam kitab Engishiki, "undon" diperkenalkan sebagai salah satu jenis makanan dari dinasti Tang. Tapi "undon" zaman itu mungkin lebih dekat dengan pangsit, karena berupa daging dibungkus lembaran tepung yang digilas tipis.
Udon yang dikenal sekarang ini dulunya disebut Kirimugi, dan baru disebut "udon" sejak zaman Edo. Pada waktu itu, "udon" adalah nama untuk sejenis masakan berupa kirimugi yang dimakan dengan kuah hangat, atau didinginkan dengan air es setelah direbus.

6. Teriyaki
Teriyaki (照り焼きてりやき?) adalah cara memasak makanan Jepang yang dipanaskan atau dipanggang dan dilapisi dengan kecap dan sake/mirin/gula beraroma rasa. Sewaktu sedang membuat teriyaki, bahan-bahan makanan yang akan dipanggang dicelupkan dan diolesi dengan saus teriyaki sampai beberapa kali hingga betul-betul masak. Di Jepang, bahan yang banyak dipakai pada masakan teriyaki adalah ikan (salemtongkolmackareltroutmarlin), sedangkan di luar Jepang digunakan berbagai jenis daging(ayamsapibabi), atau cumi-cumi maupun bahan dari ubi konnyaku.
Kata teriyaki berasal dari kata teri (照り?) yang artinya bersinar (karena mengandung gula dari tare (タレ?)), dan kata yaki (焼き?) yang artinya dibakar atau dipanggang. Taremerupakan campuran dari kecap, sake/mirin, dan gula/madu yang dipanaskan.

7. Teppanyaki
Teppanyaki (鉄板焼き?, panggang plat besi) adalah salah satu cara memasak makanan Jepang di atas plat besi (teppan). Selain itu, teppanyaki bisa berarti rumah makanJepang yang menyediakan tempat duduk dengan meja berbentuk kounter, sedangkan plat besi dipakai juru masak untuk memasak makanan.
Tebal plat besi yang dipakai sebagai alat masak antara 0,3 cm hingga 1,5 cm. Di bawah plat besi terdapat kompor gas dengan pengontrol temperatur atau besar kecilnya api. Masakan yang dimasak di atas teppan, misalnya: steakokonomiyakimonjayakiyakisoba, dan berbagai variasi masakan dari sayur-sayurandaging, atau makanan laut.
Sampai di awal zaman Showa, orang Jepang umumnya hanya mengenal anglo dari tanah liat yang disebut shichirin dengan bahan bakar arang kayu. Sebelum Perang Dunia II, besi masih merupakan benda langka di Jepang. Seusai perang, pedagang makanan di pasar gelap dan pedagang kaki lima memulai penggunaan plat besi sisa-sisa bekas perang sebagai alat masak.
Di zaman sekarang, hotplate listrik sudah merupakan barang yang lumrah di Jepang. Walaupun demikian, cara memasak teppanyaki tidak begitu meluas di kalangan rumah tangga. Panas yang dihasilkan hotplate dianggap kurang panas, dan masakan yang dihasilkan masih kurang enak dibandingkan dengan plat besi yang dimiliki rumah makan teppanyaki. Di kalangan rakyat Jepang, teppanyaki lebih populer sebagai cara memasak di alam terbuka, sewaktu berkemah dan sewaktu penyelenggaraan matsuri.
Teppanyaki adalah masakan Jepang yang sangat populer di luar Jepang berkat rumah makan teppanyaki seperti Benihana dan Shogun. Juru masak mempertontonkan keterampilan dalam memasak daging steak di atas teppan dengan pengunjung yang duduk di kounter seperti di rumah makan sushi. Penyajian hidangan gaya "teppanyaki" dimulai rumah makan Misono asal Kobe yang menyajikan masakan bistik langsung di hadapan pengunjung. Juru masak memanggang daging steak dengan gaya setengah berakrobat yang ternyata lebih disukai pengunjung restoran di luar Jepang. Bawang bombay yang diiris-iris dan ditumpuk untuk membentuk Gunung Fuji dan api dinyalakan supaya keluar asap seperti gunung berapi.
Di Jepang, rumah makan teppanyaki seperti rumah makan Misono merupakan salah satu tujuan wisatawan dari luar negeri. Lebih dari sekadar menikmati masakan teppanyaki, wisatawan datang untuk menyaksikan atraksi masak yang dipertunjukkan juru masak.

8. Tempura 
Tempura (天ぷら、天麩羅、天婦羅?) atau tenpura adalah makanan Jepang berupa makanan lautsayur-sayuran, atau tanaman liar yang dicelup ke dalam adonan berupa tepung terigu dan kuning telur yang diencerkan dengan air bersuhu dingin lalu digoreng dengan minyak goreng yang banyak hingga berwarna kuning muda.
Tempura juga berarti cara menggoreng yang berbeda dengan furai (istilah bahasa Jepang untuk deep fry). Bahan makanan yang digoreng secara tempura dicelup ke dalam adonan tempura, sedangkan bahan makanan yang digoreng secara deep fry dibungkus secara berurutan dengan tepung terigu, kocokan telur, dan tepung panir.
Minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng tempura sebaiknya minyak goreng yang bersih dan belum digunakan untuk menggoreng bahan makanan lain. Di restoran kelas atas yang menyediakan menu tempura, campuran minyak wijen yang harganya mahal dan minyak biji kapas sering dipakai untuk menggoreng tempura. Minyak bunga kamelia yang digunakan pegulat sumo sebagai minyak rambut juga digunakan di beberapa restoran mahal untuk menggoreng tempura.
Minyak goreng yang dipakai untuk menggoreng tempura sering disebut minyak tempura (天ぷら油 tempura abura?) yang merupakan sebutan untuk berbagai jenis minyak goreng seperti minyak kanola, minyak selada, atau minyak bunga matahari.
Dalam bahasa Jepang, adonan tempura disebut koromo (?, baju) karena seperti "baju" yang membungkus bahan makanan.

9. Sushi 
Sushi (, atau biasanya すし寿司?) adalah makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama lauk (neta) berupa makanan lautdagingsayuran mentah atau sudah dimasak.[1] Nasi sushi mempunyai rasa masam yang lembut karena dibumbui campuran cuka berasgaram, dan gula.
Asal usul kata sushi adalah kata sifat untuk rasa masam yang ditulis dengan huruf kanji sushi (酸し?). Pada awalnya, sushi yang ditulis dengan huruf kanji  merupakan istilah untuk salah satu jenis pengawetan ikan disebut gyoshō (魚醤?) yang membaluri ikan dengan garam dapur, bubuk ragi ( koji?) atau ampas sake ( kasu?). Penulisan sushi menggunakan huruf kanji 寿司 yang dimulai pada zaman Edo periode pertengahan merupakan cara penulisan ateji (menulis dengan huruf kanji lain yang berbunyi yang sama).
Konon kebiasaan mengawetkan ikan dengan menggunakan beras dan cuka berasal dari daerah pegunungan di Asia Tenggara. Istilah sushi berasal dari bentuk tata bahasa kuno yang tidak lagi dipergunakan dalam konteks lain; secara harfiah, "sushi" berarti "itu (berasa) masam",[2] suatu gambaran mengenai proses fermentasi dalam sejarah akar katanya. Dasar ilmiah di balik proses fermentasi ikan yang dikemas di dalam nasi ialah bahwa cuka yang dihasilkan dari fermentasi nasi menguraikan asam amino dari daging ikan. Hasilnya ialah salah satu dari lima rasa dasar, yang disebut umami dalam bahasa Jepang.[3]
Nigirizushi dikenal di Jepang sejak zaman Edo. Sebelum zaman Edo, sebagian besar sushi yang dikenal di Jepang adalah jenis oshizushi (sushi yang dibentuk dengan cara ditekan-tekan di dalam wadah kayu persegi).[4] Pada zaman dulu, orang Jepang mungkin kuat makan karena sushi selalu dihidangkan dalam porsi besar. Sushi sebanyak 1 kan (1 porsi) setara dengan 9 kan (9 porsi) sushi zaman sekarang, atau kira-kira sama dengan 18 kepal sushi (360 gram). Satu porsi sushi zaman dulu yang disebut ikkanzushi mempunyai netayang terdiri dari 9 jenis makanan laut atau lebih.
Pada zaman Edo periode akhir, di Jepang mulai dikenal bentuk awal dari nigirizushi. Namun ukuran porsi nigirizushi sudah dikurangi agar lebih mudah dinikmati. Ahli sushi bernama Hanaya Yohei menciptakan sushi jenis baru yang sekarang disebut edomaezushi.[4] Namun ukuran sushi ciptaannya besar-besar seperti onigiri. Pada masa itu, teknik pendinginan ikan masih belum maju. Akibatnya, ikan yang diambil dari laut sekitar Jepang harus diolah lebih dulu agar tidak rusak bila dijadikan sushi.
Sampai tahun 1970-an sushi masih merupakan makanan mewah. Rakyat biasa di Jepang hanya makan sushi untuk merayakan acara-acara khusus, dan terbatas pada sushi pesan-antar. Dalam manga, sering digambarkan pegawai kantor yang pulang tengah malam ke rumah dalam keadaan mabuk. Oleh-oleh yang dibawa untuk menyogok istri yang menunggu di rumah adalah sushi. Walaupun rumah makan kaitenzushi yang pertama sudah dibuka tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke daerah-daerah lain di Jepang memakan waktu lama. Makan sushi sebagai acara seluruh anggota keluarga terwujud pada tahun 1980-an sejalan dengan makin meluasnya kaitenzushi.
Keberhasilan kaitenzushi mendorong perusahaan makanan untuk memperkenalkan berbagai macam bumbu sushi instan yang memudahkan ibu rumah tangga membuat sushi di rumah. chirashizushi atau temakizushi dapat dibuat dengan bumbu instan ditambah nasi, makanan laut, tamagoyaki dan nori.

10. Takoyaki
Takoyaki (たこ焼き?) adalah nama makanan asal daerah Kansai di Jepang, berbentuk bola-bola kecil dengan diameter 3-5 cm yang dibuat dari adonan tepung terigu diisi potongan gurita di dalamnya. Di zaman Taisho sudah dijumpai kios pasar kaget yang menjual Choboyaki berupa goreng tepung terigu dengan isi konnyaku yang merupakan cikal bakal takoyaki. Choboyaki berkembang menjadi Rajioyaki yang berisi urat sapi dan bagian daging murah yang lain. Penganan disebut "rajioyaki" karena bentuknya yang bulat-bulat seperti tombol radio transistor pada waktu itu.
Pada tahun 1933, kios takoyaki bernama Aizuya menjual Nikuyaki yang merupakan variasi rajioyaki yang diisi dengan daging sapi. Pada tahun 1935, kios Aizuya yang mengambil ide dari Akashiyaki mulai mengisikan gurita dan telur ke dalam rajioyaki dan menyebutnya sebagai takoyaki.
Di sekitar tahun 1965-an, kios pasar kaget yang menjual takoyaki mulai bermunculan di daerah Kanto. Di pertengahan dekade 1990-an, Tokyo mengalami demam takoyaki yang dimulai oleh kios takoyaki bernama Kyōtako di daerah Shibuya. Di daerah Kyushu, perusahaan bernama Hatchandō menjual takoyaki secara keliling tetapi sekarang berubah menjadi perusahaan penjual takoyaki sebagai makanan beku.

Sekitar tahun 2000, kios bernama Gindako yang berasal dari kawasan pasar TsukijiTokyo sukses dengan sejumlah toko cabang yang dibuka di seluruh Jepang hingga bisa membuat makanan ringan dengan rasa takoyaki.




Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_masakan_Jepang

Komentar

Postingan Populer