Japanese Food
![]() |
Jepanese Food |
1.Bentō
Bentō (弁当 atau べんとう?) atau o-bentō adalah
istilah bahasa Jepang untuk makanan bekal berupa
nasi berikut lauk-pauk dalam kemasan praktis yang bisa dibawa-bawa dan dimakan
di tempat lain. Seperti halnya nasi bungkus,
bentō bisa dimakan sebagai makan siang, makan malam,
atau bekal piknik.
Bentō biasanya dikemas untuk porsi
satu orang, walaupun dalam arti luas bisa berarti makanan bekal untuk kelompok
atau keluarga. Bento dibeli atau disiapkan sendiri di rumah. Ketika dibeli,
bentō sudah dilengkapi dengan sumpit sekali
pakai, berikut penyedap rasa yang disesuaikan dengan lauk, seperti kecap asin atau saus uster dalam
kemasan mini.
Pada akhir zaman
Kamakura, orang Jepang mengenal makanan praktis berupa nasi yang
ditanak dan dikeringkan. Makanan ini disebut hoshi-ii (nasi
kering) dan dibawa di dalam tas kecil. Hoshi-ii bisa dimakan begitu saja, atau
direbus di dalam air sebelum dimakan. Di zaman Azuchi Momoyama (1568-1600), orang sudah mulai
senang makan di luar, dan kotak kayu yang dipernis digunakan sebagai wadah
membawa makanan. Bentō mulai dikenal sebagai makanan praktis dalam
kesempatan hanami atau upacara minum
teh.
Pada zaman Edo (1603-1867), kebudayaan bentō
semakin meluas di kalangan rakyat banyak. Orang yang bepergian atau berwisata
membawa makanan praktis yang disebut koshibentō (bentō di
pinggang). Isinya beberapa onigiri yang dibungkus daun bambu, atau nasi di dalam
kemasan kotak beranyam dari bambu yang diikatkan di pinggang. Salah satu jenis
bentō yang disebut makunouchi bentō populer di kalangan rakyat yang
menonton pertunjukan noh dan kabuki.
Bentō dimakan sewaktu pergantian layar panggung (maku) sehingga
dinamakan makunouchi bentō. Di zaman Edo, cara memasak, mengemas,
dan menyiapkan bentō untuk kesempatan hanami dan hinamatsuri sudah
diterbitkan dalam buku resep masakan.
Penjualan paket nasi yang
disebut ekiben (駅弁 bentō stasiun?) dimulai sejak zaman Meiji.
Ekiben dimaksudkan untuk dinikmati di atas kereta, dan sering merupakan
hidangan khas dari daerah tempat stasiun kereta api tersebut berada. Stasiun
KA Utsunomiya (Prefektur
Ibaraki) merupakan salah satu stasiun yang mengklaim sebagai
penjual ekiben yang pertama. Pada 16 Juli 1885, di Stasiun KA
Utsunomiya dijual ekiben berupa dua buah onigiri berisi umeboshi dan
potongan asinan lobak (takuan) dengan pembungkus daun
bambu. Bekal bentō yang dibawa murid dan guru juga mulai populer pada zaman
Meiji. Jam pelajaran baru selesai di petang hari, dan sekolah-sekolah belum
memiliki dapur dan kafetaria yang menyediakan makan siang. Selain bentō berisi
nasi, penjual bentō juga mulai menyediakan bentō ala Eropa berisi sandwich.
Pada zaman Taisho (1912 - 1926), perbedaan
kaya-miskin yang tajam seusai Perang Dunia
I menimbulkan gerakan sosial untuk menghentikan kebiasaan
membawa bentō ke sekolah. Bentō dituduh sebagai sarana pamer kekayaan bagi anak
orang berada yang mampu membawa nasi ke sekolah.
Pada awal zaman Showa,
kotak dari aluminum untuk membawa bento sangat digemari orang Jepang
dan merupakan barang mewah. Setelah Perang Dunia
II, tradisi membawa bentō secara berangsur-angsur hilang sejalan
dengan semakin banyaknya sekolah yang menyediakan ransum makan siang.
Bentō kembali populer pada tahun
1980-an setelah dikenal kemasan kotak plastik polistirena sekali
pakai, oven microwave, dan semakin meluasnya toko
kelontong 24 jam. Sementara itu, bentō buatan ibu kembali mulai digemari, dan
tradisi membawa bentō dari rumah hidup kembali. Keahlian menyiapkan bentō untuk
anak-anak merupakan kebanggaan tersendiri bagi ibu rumah tangga. Lauk
seperti sosis dan nori dipotong-potong
atau digunting untuk dijadikan hiasan, seperti daun, bunga, binatang, hingga
karakter anime.
2. Katsuobushi
Katsuobushi (鰹節?) adalah makanan awetan berbahan
baku ikan cakalang (katsuo).
Katsuobushi diserut menjadi seperti serutan kayu untuk diambil kaldunya yang
merupakan bahan dasar masakan
Jepang, ditaburkan di atas makanan sebagai penyedap rasa, atau
dimakan begitu saja sebagai teman makan nasi.
Katsuobushi yang sudah diserut
tipis, berwarna coklat muda hingga merah jambu sedikit bening umumnya dijual
dalam kemasan plastik. Katsuobushi sebagai penyedap makanan biasanya ditaburkan
di atas hiyayako (tahu dingin), okonomiyaki dan takoyaki.
Katsuobushi yang sudah diserut disebut kezuribushi.
Pengawetan ikan cakalang menjadi
katsuobushi umum dilakukan di beberapa negara seperti Jepang dan
kepulauan Maladewa.
Teknik pengawetan ikan menjadi katsuobushi sudah dikenal di Jepang sejak
sebelum zaman Edo.
Katsuobushi disebut juga ikan kayu karena ikan cakalang yang sudah diolah
menjadi sangat keras seperti kayu, sehingga sebelum digunakan harus diserut
dengan alat ketam.
Ikan dibelah menjadi 2 bagian untuk
membuang bagian tulang, menyisakan bagian daging ikan berbentuk lengkungan
seperti kapal yang disebut fushi (節?).
Daging ikan kemudian diproses sehingga produk akhirnya disebut katsuobushi.
Pemrosesan terdiri dari berbagai
tahap, sebutan untuk ikan cakalang yang hanya direbus dan dikeringkan adalah
namaribushi. Tahap selanjutnya adalah memproses namaribushi dengan cara pengasapan atau pengapangan untuk
menumbuhkan berjenis-jenis kapang di atas permukaannya. Produk akhir yang sering
digunakan dalam masakan Jepang adalah katsuobushi yang mengalami pengapangan
dan namaribushi.
Katsuobushi kaya dengan vitamin B kompleks
dan banyak mengandung inosine dan
unsur umami sehingga selalu digunakan di Jepang sebagai bumbu
dapur atau penyedap. Dalam istilah orang Jepang, umami adalah
rasa "lezat" yang merupakan rasa tambahan dari empat rasa utama yang
umum: manis, asam, asin, dan pahit.
Katsuobushi hasil pengapangan
disebut karebushi (枯節?) yang
mengandung lebih banyak unsur umami dan vitamin B dibandingkan
katsuobushi biasa.
Ikan cakalang adalah ikan yang sudah
dikonsumsi orang Jepang sejak zaman kuno. Dari beberapa situs penggalian
seperti di Hachinohe (Prefektur
Aomori) berhasil ditemukan sisa-sisa ikan cakalang bekas dimakan
orang zaman Jomon. Walaupun ada kemungkinan teknik
pengeringan ikan cakalang sudah dikuasai orang Jepang sejak abad ke-5,
hasil akhirnya mungkin sangat berbeda dengan katsuobushi yang dikenal sekarang.
Berdasarkan catatan zaman kuno juga diketahui teknik pengolahan ikan cakalang
yang sesudah jadi lebih mirip ikan kering.
Menurut kitab hukum Fuyakuryō (賦役令 fuyakuryō
atau buyakuryō?) dan Kitab
Undang-Undang Taihō terbitan tahun 701 (zaman Asuka),
ikan cakalang kering ditetapkan sebagai upeti atau barang persembahan,
bersama-sama dengan ikan cakalang, ikan cakalang masak nimono, dan
air kaldu ikan cakalang. Pada zaman dulu, ikan cakalang adalah upeti yang
dikirimkan dari provinsi seperti Izu, Suruga, Shima, Sagami, Awa (安房?),
Kii, Awa (阿波?),
Tosa, Bungo, dan Himuka.
Pengolahan ikan cakalang dari zaman
Muromachi mempunyai hasil akhir yang mirip dengan katsuobushi
yang dikenal sekarang. Hanakatsuo (花鰹?) disebut-sebut
dalam buku masak terkenal dari zaman Muromachi yang berjudul Shijōryū
Hōchōsho (四条流包丁書?).
Kemungkinan besar hanakatsuo yang disebut dalam buku masak zaman Muromachi
adalah produk awetan ikan cakalang yang sangat keras, sehingga harus diserut
dengan alat ketam dan bukan berupa ikan cakalang kering.
Teknik pengasapan baru dikenal pada
zaman Edo. Teknik menghilangkan air dari dalam daging ikan dengan cara
pengasapan kemungkinan mulai dilakukan pengolah ikan bernama Jintarō dari
wilayah Kishu (Kumano). Kabibushi (かび節?) adalah
jenis katsuobushi yang dimatangkan dengan cara pengapangan. Teknik pembuatan
kabibushi yang kemudian meluas ke seluruh Jepang kabarnya diciptakan oleh
Tosano Yoichi yang juga berasal dari Kishu. Pada zaman dulu, pengolahan ikan
cakalang di Jepang berpusat di daerah-daerah pantai Samudra
Pasifik seperti Satsuma, Tosa, Awa, Kii, Shima, Ise, dan Izu.
Pada zaman Edo peringkat
kualitas katsuobushi dibuat seperti peringkat pesumo.
Kualitas atas yang disebut kelas gyoji (行司 gyōji?, wasit) ditempati asobushi dari
Ise, namikiribushi dari Shima. Sementara itu, shimizubushi dari Shizuoka dan yakushimabushi dari Satsuma menempati
peringkat nomor dua atau kelas Ozeki. Masakan berkelas khas Kyoto yang
disebut kyōryōri banyak menggunakan katsuobushi kelas gyōji.
Namikiribushi dan karebushi banyak dipakai dalam masakan chagaisekiryōri,
hidangan kuil agama Buddha dan Shinto di Kyoto. Kemajuan transportasi laut pada
zaman Edo memungkinkan katsuobushi yang berasal dari Kyushu dan Shikoku untuk
diangkut sampai ke Edo.
Sesudah zaman Meiji,
pengolahan ikan cakalang juga dilakukan di Pulau Uotsuri yang
terletak di Kepulauan Senkaku, dan di pulau-pulau di
sebelah selatan Samudra Pasifik yang ditetapkan Liga Bangsa-Bangsasebagai wilayah mandat
Jepang. Pengolahan ikan cakalang dari kepulauan Samudra Pasifik ini berkembang
dengan pesat karena harga-harga lokal yang murah, tetapi kemudian industri ini
tamat akibat Perang Dunia
3. Unadon atau unagidonburi
Unadon atau unagidonburi (鰻丼?) adalah makanan
Jepang berupa nasi yang di atasnya diberi unagi (sidat jepang)
yang dimasak cara kabayaki. Sebagai penyedap, ke atas nasi disiramkan saus (tare)
yang rasanya manis sebelum meletakkan unagi. Sebelum dimakan, di
atas unadon ditaburkan sedikit bubuk andaliman.
Saus dibuat dari campuran gula pasir dan kecap asin,
meskipun kadang-kadang ditambah campuran lain yang sering juga dirahasiakan.
Andaliman (nama Jepang: sanshō) ditaburkan ke atas unadon untuk menghilangkan
bau amonia yang
kadang-kadang berasal dari daging sidat jepang yang mengandung banyak lemak. Sedikit taburan
bubuk andaliman juga dapat mengurangi bau lemak. Dalam set menu di rumah makan,
unagi kabayaki atau unadon umumnya dihidangkan bersama sup bening (kimosui)
berisi hatisidat
jepang.
4. Unajū
Unajū (鰻重?) adalah
penyajian nasi dan panggang sidat jepang cara kabayaki yang dihidangkan dalam
kotak jūbako.[1] Salah
satu teori mengatakan unajū pertama kali dihidangkan oleh Gihei (大谷儀兵衛?) yang
memulai usaha rumah makan ikan air tawar Funagi(?) (鮒儀?) di
Sanya, Asakusa, Tokyo called
Funagi(?) (鮒儀?)
(nantinya rumah makan ini berganti nama menjadi Jūbako, dan kini berada
Akasaka). Namun teori tersebut dibantah oleh sumber lain yang menngatakan bahwa
versi unajū seperti itu sudah ada sekitar akhir zaman Edo.
Pengamat lain mengatakan bahwa unajū sudah ada sejak zaman Taisho.
Pemakaian kotak berpernis dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa unajū adalah
makanan mewah. Unajū biasanya dijual dengan harga lebih mahal daripada unadon[1]
Di Nagoya dan
sekitarnya terdapat masakan bernama hitsumabushi. Unagi
kabayaki dipotong kecil-kecil, dan dicampur dengan nasi sebelum dihidangkan di
dalam hitsu (tempat nasi berbentuk bundar dari kayu).
Unagi kabayaki dipercaya sebagai
makanan bergizi untuk menambah stamina sepanjang musim panas di Jepang.
Terutama unagi kabayaki dimakan pada hari Doyō no Ushimusim
panas (sekitar minggu ketiga bulan Juli).
5. Udon
Udon (うどん,饂飩?) adalah
salah satu jenis mi yang
sudah dikenal di Jepang sejak dulu, dibuat dari tepung terigu dan
berbentuk tebal serta agak lebar.
Sesuai standar JAS, udon berbentuk bulat seperti pipa
harus berdiameter di atas 1,7 mm, sedangkan udon berbentuk pipih harus
memiliki lebar di atas 1,7 mm. Hiyamugi terlihat
mirip dengan udon namun lebih langsing. Hiyamugi mempunyai diameter
1,2-1,7 mm dan ketebalan 1,0-2,0 mm. Selain disebut Hiyamugi, udon
yang langsing juga disebut Hosoudon.
Tepung terigu berprotein sedang
atau rendah diulen dengan air dan sedikit garam untuk membuat
adonan udon. Setelah adonan dipotong-potong, udon bisa langsung direbus. Udon
rebus biasanya dimakan bersama kuah yang dibuat dari dashi dengan
tambahan kecap asin yang disebut tsuyu.
Di Jepang bagian barat, kuah udon berwarna coklat muda hampir bening karena
memakai kecap asin encer (usukuchi shōyu). Sedangkan di Jepang bagian
timur, kuah udon berwarna gelap hampir hitam karena memakai kecap asin kental (koikuchi
shōyu).
Di Jepang, udon merupakan makanan
rakyat, berharga murah dan banyak dimakan sebagai pengganti nasi. Orang Jepang
sejak dulu sudah akrab dengan udon dan sering dimakan beramai-ramai sewaktu ada
keramaian atau perayaan. Variasi cara memasak dan jenis lauk yang digunakan
berbeda-beda bergantung pada daerahnya di Jepang.
Di zaman kuno, udon dilafalkan
sebagai "undon". Konon orang Jepang mengenalnya pada abad pertengahan
sebagai makanan asal Tiongkok. Sampai sekarang, pangsit (wonton)
dalam dialek Wu ditulis
sebagai 餛飩 dan
dibaca sebagai undon.
Dalam kitab Engishiki,
"undon" diperkenalkan sebagai salah satu jenis makanan dari dinasti Tang.
Tapi "undon" zaman itu mungkin lebih dekat dengan pangsit, karena
berupa daging dibungkus lembaran tepung yang digilas tipis.
Udon yang dikenal sekarang ini
dulunya disebut Kirimugi, dan baru disebut "udon" sejak zaman Edo.
Pada waktu itu, "udon" adalah nama untuk sejenis masakan berupa
kirimugi yang dimakan dengan kuah hangat, atau didinginkan dengan air es
setelah direbus.
6. Teriyaki
Teriyaki (照り焼き, てりやき?) adalah
cara memasak makanan Jepang yang dipanaskan atau dipanggang dan dilapisi
dengan kecap dan sake/mirin/gula beraroma rasa.
Sewaktu sedang membuat teriyaki, bahan-bahan makanan yang akan dipanggang
dicelupkan dan diolesi dengan saus teriyaki sampai beberapa kali hingga
betul-betul masak. Di Jepang, bahan yang banyak dipakai pada masakan teriyaki
adalah ikan (salem, tongkol, mackarel, trout, marlin), sedangkan di luar
Jepang digunakan berbagai jenis daging(ayam, sapi, babi), atau cumi-cumi maupun
bahan dari ubi konnyaku.
Kata teriyaki berasal dari
kata teri (照り?) yang
artinya bersinar (karena mengandung gula dari tare (タレ?)),
dan kata yaki (焼き?) yang
artinya dibakar atau dipanggang. Taremerupakan campuran dari kecap,
sake/mirin, dan gula/madu yang
dipanaskan.
7. Teppanyaki
Teppanyaki (鉄板焼き?,
panggang plat besi) adalah salah satu cara memasak makanan
Jepang di atas plat besi (teppan).
Selain itu, teppanyaki bisa berarti rumah makanJepang
yang menyediakan tempat duduk dengan meja berbentuk kounter, sedangkan plat
besi dipakai juru masak untuk memasak makanan.
Tebal plat besi yang dipakai sebagai
alat masak antara 0,3 cm hingga 1,5 cm. Di bawah plat besi terdapat kompor gas
dengan pengontrol temperatur atau besar kecilnya api. Masakan yang dimasak di
atas teppan, misalnya: steak, okonomiyaki, monjayaki, yakisoba,
dan berbagai variasi masakan dari sayur-sayuran, daging,
atau makanan laut.
Sampai di awal zaman Showa,
orang Jepang umumnya hanya mengenal anglo dari tanah liat
yang disebut shichirin dengan
bahan bakar arang kayu. Sebelum Perang Dunia II, besi masih merupakan benda
langka di Jepang. Seusai perang, pedagang makanan di pasar gelap dan
pedagang kaki lima memulai penggunaan plat besi sisa-sisa bekas perang sebagai
alat masak.
Di zaman sekarang, hotplate listrik
sudah merupakan barang yang lumrah di Jepang. Walaupun demikian, cara memasak
teppanyaki tidak begitu meluas di kalangan rumah tangga. Panas yang
dihasilkan hotplate dianggap kurang panas, dan masakan yang
dihasilkan masih kurang enak dibandingkan dengan plat besi yang dimiliki rumah
makan teppanyaki. Di kalangan rakyat Jepang, teppanyaki lebih populer sebagai
cara memasak di alam terbuka, sewaktu berkemah dan sewaktu
penyelenggaraan matsuri.
Teppanyaki adalah masakan Jepang
yang sangat populer di luar Jepang berkat rumah makan teppanyaki seperti Benihana dan Shogun.
Juru masak mempertontonkan keterampilan dalam memasak daging steak di
atas teppan dengan pengunjung yang duduk di kounter seperti di
rumah makan sushi. Penyajian hidangan gaya "teppanyaki" dimulai rumah
makan Misono asal Kobe yang menyajikan masakan bistik langsung di hadapan
pengunjung. Juru masak memanggang daging steak dengan gaya
setengah berakrobat yang ternyata lebih disukai pengunjung restoran di luar
Jepang. Bawang bombay yang diiris-iris dan ditumpuk untuk membentuk Gunung Fuji dan
api dinyalakan supaya keluar asap seperti gunung berapi.
Di Jepang, rumah makan teppanyaki
seperti rumah makan Misono merupakan salah satu tujuan wisatawan dari luar
negeri. Lebih dari sekadar menikmati masakan teppanyaki, wisatawan datang untuk
menyaksikan atraksi masak yang dipertunjukkan juru masak.
8. Tempura
Tempura (天ぷら、天麩羅、天婦羅?) atau tenpura adalah
makanan Jepang berupa makanan laut, sayur-sayuran, atau tanaman liar yang
dicelup ke dalam adonan berupa tepung terigu dan kuning telur yang
diencerkan dengan air bersuhu dingin lalu digoreng dengan minyak goreng yang
banyak hingga berwarna kuning muda.
Tempura juga berarti cara menggoreng
yang berbeda dengan furai (istilah bahasa Jepang untuk deep
fry). Bahan makanan yang digoreng secara tempura dicelup ke dalam adonan
tempura, sedangkan bahan makanan yang digoreng secara deep fry dibungkus
secara berurutan dengan tepung terigu, kocokan telur, dan tepung panir.
Minyak goreng yang digunakan untuk
menggoreng tempura sebaiknya minyak goreng yang
bersih dan belum digunakan untuk menggoreng bahan makanan lain. Di restoran
kelas atas yang menyediakan menu tempura, campuran minyak wijen yang harganya
mahal dan minyak biji kapas sering dipakai untuk menggoreng tempura. Minyak
bunga kamelia yang
digunakan pegulat sumo sebagai
minyak rambut juga digunakan di beberapa restoran mahal untuk menggoreng
tempura.
Minyak goreng yang dipakai untuk
menggoreng tempura sering disebut minyak tempura (天ぷら油 tempura
abura?) yang merupakan sebutan
untuk berbagai jenis minyak goreng seperti minyak kanola,
minyak selada, atau minyak bunga
matahari.
Dalam bahasa
Jepang, adonan tempura disebut koromo (衣?, baju) karena seperti
"baju" yang membungkus bahan makanan.
9. Sushi
Sushi (鮨, 鮓, atau biasanya すし, 寿司?) adalah makanan
Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk
bersama lauk (neta) berupa makanan laut, daging, sayuran mentah
atau sudah dimasak.[1] Nasi sushi
mempunyai rasa masam yang lembut karena dibumbui campuran cuka beras, garam, dan gula.
Asal usul kata sushi adalah kata
sifat untuk rasa masam yang ditulis dengan huruf kanji sushi (酸し?).
Pada awalnya, sushi yang ditulis dengan huruf kanji 鮓 merupakan istilah untuk salah satu jenis pengawetan
ikan disebut gyoshō (魚醤?) yang
membaluri ikan dengan garam dapur, bubuk ragi (麹 koji?) atau ampas sake (糟 kasu?). Penulisan sushi menggunakan
huruf kanji 寿司 yang dimulai pada zaman Edo periode
pertengahan merupakan cara penulisan ateji (menulis dengan
huruf kanji lain
yang berbunyi yang sama).
Konon kebiasaan mengawetkan ikan dengan
menggunakan beras dan cuka berasal dari daerah pegunungan di Asia Tenggara.
Istilah sushi berasal dari bentuk tata bahasa kuno yang tidak
lagi dipergunakan dalam konteks lain; secara harfiah, "sushi" berarti
"itu (berasa) masam",[2] suatu
gambaran mengenai proses fermentasi dalam sejarah akar katanya. Dasar ilmiah di
balik proses fermentasi ikan yang dikemas di dalam nasi ialah bahwa cuka yang
dihasilkan dari fermentasi nasi menguraikan asam amino dari
daging ikan. Hasilnya ialah salah satu dari lima rasa dasar, yang disebut umami dalam
bahasa Jepang.[3]
Nigirizushi dikenal di Jepang
sejak zaman Edo.
Sebelum zaman Edo, sebagian besar sushi yang dikenal di Jepang adalah jenis
oshizushi (sushi yang dibentuk dengan cara ditekan-tekan di dalam wadah kayu
persegi).[4] Pada
zaman dulu, orang Jepang mungkin kuat makan karena sushi selalu dihidangkan dalam
porsi besar. Sushi sebanyak 1 kan (1 porsi) setara dengan
9 kan (9 porsi) sushi zaman sekarang, atau kira-kira sama
dengan 18 kepal sushi (360 gram). Satu porsi sushi zaman dulu yang
disebut ikkanzushi mempunyai netayang terdiri dari
9 jenis makanan laut atau lebih.
Pada zaman Edo periode akhir, di
Jepang mulai dikenal bentuk awal dari nigirizushi. Namun ukuran
porsi nigirizushi sudah dikurangi agar lebih mudah dinikmati. Ahli sushi
bernama Hanaya Yohei menciptakan sushi jenis baru yang sekarang disebut
edomaezushi.[4] Namun
ukuran sushi ciptaannya besar-besar seperti onigiri.
Pada masa itu, teknik pendinginan ikan masih belum maju. Akibatnya, ikan yang
diambil dari laut sekitar Jepang harus diolah lebih dulu agar tidak rusak bila
dijadikan sushi.
Sampai tahun 1970-an sushi masih
merupakan makanan mewah. Rakyat biasa di Jepang hanya makan sushi untuk
merayakan acara-acara khusus, dan terbatas pada sushi pesan-antar. Dalam manga, sering digambarkan
pegawai kantor yang pulang tengah malam ke rumah dalam keadaan mabuk. Oleh-oleh
yang dibawa untuk menyogok istri yang menunggu di rumah adalah sushi. Walaupun
rumah makan kaitenzushi yang pertama sudah dibuka tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke
daerah-daerah lain di Jepang memakan waktu lama. Makan sushi sebagai acara
seluruh anggota keluarga terwujud pada tahun 1980-an sejalan dengan makin
meluasnya kaitenzushi.
Keberhasilan kaitenzushi mendorong
perusahaan makanan untuk memperkenalkan berbagai macam bumbu sushi instan yang
memudahkan ibu rumah tangga membuat sushi di rumah. chirashizushi atau
temakizushi dapat dibuat dengan bumbu instan ditambah nasi, makanan laut, tamagoyaki dan nori.
10. Takoyaki
Takoyaki (たこ焼き?) adalah
nama makanan asal daerah Kansai di Jepang,
berbentuk bola-bola kecil dengan diameter 3-5 cm yang dibuat dari
adonan tepung terigu diisi potongan gurita di
dalamnya. Di zaman Taisho sudah dijumpai kios pasar kaget yang menjual Choboyaki berupa
goreng tepung terigu dengan isi konnyaku yang
merupakan cikal bakal takoyaki. Choboyaki berkembang menjadi Rajioyaki yang berisi
urat sapi dan bagian daging murah yang lain. Penganan disebut
"rajioyaki" karena bentuknya yang bulat-bulat seperti tombol radio transistor pada
waktu itu.
Pada tahun 1933, kios takoyaki
bernama Aizuya menjual Nikuyaki yang merupakan variasi rajioyaki yang diisi
dengan daging sapi. Pada tahun 1935, kios Aizuya yang mengambil ide dari Akashiyaki mulai
mengisikan gurita dan telur ke dalam rajioyaki dan menyebutnya sebagai
takoyaki.
Di sekitar tahun 1965-an, kios pasar
kaget yang menjual takoyaki mulai bermunculan di daerah Kanto. Di pertengahan
dekade 1990-an, Tokyo mengalami demam takoyaki yang dimulai oleh kios takoyaki
bernama Kyōtako di daerah Shibuya. Di daerah Kyushu,
perusahaan bernama Hatchandō menjual takoyaki secara keliling tetapi sekarang
berubah menjadi perusahaan penjual takoyaki sebagai makanan beku.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_masakan_Jepang
Komentar
Posting Komentar